Wayang kulit adalah seni pertunjukkan asli bangsa Indonesia yang sudah ada lebih dari 1000 tahun silam. Wayang kulit sempat meraih masa kejayaannya dimasa lalu sebagai media dakwah dan hiburan. Wayang kulit mengajarkan falsafah hidup kepada masyarakat untuk menjadi manusia yang bijaksana dan beragama. Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian wayang kulit pun mulai ditinggalkan masyarakat mulai beralih pada hiburan elektronik layaknya sinetron, film, internet, dan video games. Dominasi hiburan elektronik semakin menggeser eksistensi wayang kulit sebagai media hiburan yang sarat edukasi dalam masyarakat. Tantangan eksistensi wayang kulit yang terjadi di era gobalisasi sekarang akan dibahas lebih lanjut mengingat wayang kulit membutuhkan inovasi untuk terus bertahan dimasa modern sebagai simbol budaya bangsa.
Ada beberapa definisi dari wayang kulit salah satunya adalah menurut Moelyono dalam Soenarto(…..) wayang adalah bayangan imajinasi dari para nenek moyang yang tercermin dari bentuk-bentuk wayang sebagaimana terciptanya wayang melalui tahap penyesuaian dengan kelakuan dan adat tingkah laku yang dibayangkan dalam angan-angan. Dalam pertunjukkan wayang tidak hanya menyajikan sebuah bentuk hiburan, namun wayang adalah falsafah hidup yang dijadikan sebagai pedoman. Wayang bukan hanya bersifat sebagai tontonan, tapi juga tuntunan.
Dalam cerita pewayangan disajikan karakter-karakter yang beraneka ragam dengan pelbagai intrik kehidupannya, layaknya lakon Pandawa dan Kurawa dalam cerita Mahabarata. Pandawa sebagai karakter protagonist yang membela kebenaran dan berjaya sedangkan Kurawa sebagai karakter antagonis yang jahat dan pengacau hingga akhirnya kalah dalam kebinasaan. Prinsip dasar dalam cerita wayang adalah mengajarkan kita untuk percaya kepada karma. Sebagaimana menurut filsafat orang jawa “sapa nandur ngunduh wohe kang tinandur” yang artinya siapa yang menanam benih maka ia akan menuai hasil dari tanamannya. Bila yang kita tanam adalah sebuah keburukkan maka kita akan menuai akibat dari setiap perbuatan buruk yang kita lakukan dimasa hidup, begitupun sebaliknya. Wayang mampu memberikan gambaran hidup dan penghidupan sebagai simbol filsafat hidup bagi masyarakat yang mendukungnya. Wayang juga mengajarkan cara untuk memandang dunia sebagai suatu penghayatan dalam masyarakat dan alam sebagai satu kesatuan yang tidak terpecah belah.(Usman & Din,2010)
Wayang tumbuh dan berkembang sebagai budaya orang jawa, yang dimaksud dengan orang jawa adalah orang-orang yang berbahasa ibu bahasa jawa dan nenek moyangnya berasal dari jawa tengah dan jawa timur. Usman & Din (2010) menyatakan bahwa orang jawa sangat percaya legenda berperan penting dalam mendidik , mengembangkan pikiran dan kepribadian hidup khususnya dalam diri anak muda. Wayang sebagai hasil peradaban tradisional jawa yang mengembangkan etika, moral dan filsafat yang tersaji apik dalam cerita. Wayang memberikan perasaan harga diri dan kehormatan bagi setiap manusia dan toleransi yang perlu dihormati dengan rasa yang mendalam. Kekuatan yang terdapat dalam wayang menjadi sebuah pakem bagi para pihak yang melestarikan wayang khususnya para dalang sebagai pembawa cerita tunggal dalam pementasan wayang untuk tidak mengubah cerita yang terjadi dalam pementasan wayang kulit.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, wayang sebaiknya melakukan inovasi untuk dapat bertahan selaras dengan perubahan zaman. Wayang perlu dipandang sebagai produk budaya yang universal bukan hanya milik golongan tertentu saja. Kepemilikkan budaya wayang dapat ditujukan sebagai budaya bangsa Indonesia, bukan hanya budaya orang jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pementasan wayang kulit yang berbahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar cerita, agar wayang dapat menjangkau semua orang yang non jawa untuk dapat mengerti pesan edukatif yang ditampilkan dalam wayang.
Menonton pementasan wayang kulit sama halnya belajar pada situasi informal,pesan moral yang disampaikan adalah ilmu-ilmu kebijaksanaan. Melihat situasi yang terjadi selama ini penonton hanya disuapi dengan pesan moral yang diceritakan oleh dalang. Layaknya sebuah proses belajar dari sudut pandang constructivism oleh Huitt(2009) Belajar adalah sebuah proses pencarian makna dengan merefleksikan pengalaman hidup dan membangun sebuah pemahaman tentang fenomena yang terjadi. Sebagai sebuah proses pembelajaran, pementasan wayang diharapkan mampu memberikan interaksi antara dalang sebagai pemain dan penonton sebagai target pembelajaran untuk membantu penonton membangun pemahaman terhadap ilmu kebijaksanaan yang disampaikan. Melalui penggunaan bahasa Indonesia dapat mempermudah dalam menyampaikan pesan moral yang tersaji dalam cerita wayang kulit. Bukanlah sebuah ketidak mungkinan jika wayang dapat disajikan dalam bahasa inggris sebagai media pengenalan budaya Indonesia agar dapat go Internasional diera globalisasi seperti sekarang, agar bangsa luar mengenal budaya kita yang luhur dari ribuan tahun yang lalu.
Dengan tidak menghilangkan unsur hiburan dalam cerita wayang, wayang sangat diharapkan mampu menghadirkan cerita sarat makna dalam berbagai konteks yang terjadi dimasa sekarang. Dalang dapat menjadi lebih kreatif dengan mendesain cerita-cerita baru seputar isu yang terjadi dimasyarakat namun tidak meninggalkan unsur edukasi dalam cerita yang disampaikan. Seperti halnya dalam pementasan wayang golek “Cepot” karya Asep soenarya dari jawa barat yang menggunakan bahasa Indonesia dan melibatkan banyak interaksi dengan penonton kedalam cerita. Adapun seperti kesenian lenong, musik dangdut, dan musik campursari yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Menurut Malinowski dalam(2009) setiap unsur kebudayaan memiliki kegunaan yang cocok dalam masyarakat secara keseluruhan. Bila ada unsur yang tidak berfungsi, maka unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Tentunya unsur hiburan jangan sampai dihilangkan dalam cerita wayang sebagai daya tarik penonton untuk menonton pertunjukkan wayang kulit.
Kesenian wayang kulit sebagai hasil kebudayaan tradisional Indonesia asli sebaiknya mampu lebih fleksibel dan mengikuti perkembangan yang terjadi seiring dengan arus globalisasi. Wayang kulit bukan hanya sebuah bentuk hasil kebudayaan manusia masa lalu yang bersifat simbolistik dan dimainkan pada momen tertentu saja. Wayang kulit adalah aset budaya nasional yang mencerdaskan para pengikutnya, akan tetapi untuk mampu bertahan diperlukan kesadaran untuk berinovasi sebagai kebutuhan dan mampu berjalan selaras dengan arus globalisasi sebagai proses yang wajar dalam tatanan kehidupan manusia.
Referensi
Usman,S.M., Din, I, 2010. Wayang (Kepribadian Luhur Jawa). Jakarta: Cakrawala.
Soenarto, Drs. (). Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka.
Saiman, 2009. Tantangan Budaya Nasional di Era Globalisasi dalam (link). Diakses pada tanggal 11 November 2010 jam 10:06 WIB
Huitt, W.G., 2009. Constructivism dalam http://www.edpsycinteractive.org diakses pada tanggal 11 November 2010 jam 10:06 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar